65 tahun, umur yang sudah tua bagi sebuah negara. Negara yang besar, dengan kekayaan alam yang melimpah. dengan populasi yang besar, dengan sejuta karakteristik bangsa dari Sabang sampai Merauke. Namun, dari sejuta semesta yang dimiliki tersebut, bangsa ini tak lebih dari macan ompong yang tak tahu, kapan giginya taringnya akan tumbuh !
Perang etnis, perang ideologi agama, perang kebijakan, dan berbagai perang lainnya. Tak ada habis-habisnya logistik untuk berperang, tak ada habis-habisnya amunisi untuk saling menghabisi, tak ada habis-habisnya seseorang saling mengkembiri.
Bangsa ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia namanya. Berdiri dengan sebuah kepercayaan jaman raja-raja, mampu menyebrangi lautan hingga Thailand jauh disana, menyatukan bangsa dalam sebuah sumpah palapa namanya. Berselaput dalam jejaring dogma atas kepercayaan masing-masing. Aaaah itu sudah kuno, modern kini jauh lebih parah dari jaman tersebut.
Makin banyak perut yang kelaparan, makin banyak orang tak tersuguhi hiburan, makin banyak orang tak santun di jalan, makin banyak orang teriak-teriak asma Tuhan untuk menghabisi pemilik asma Tuhan lainnya.
Semuanya bergabung dalam lendir kemiskinan. Bersatu memberangus ideologi, dan keyakinan terhadap Pancasila, sengaja dibuat, atau memang kondisi lapar yang memberangus otak mereka. Jangan pernah menyalahkan si miskin, karena mereka memang tak punya akses untuk keluar dari kemiskinan. Lalu yang perlu disalahi siapa ? pembuat kebijakan kah, orang kayakah, atau sabuk imperialisme asing !
Si miskin sungguh kasian, saat hasrat untuk mengencangkan ikat pinggang dengan suguhan entertainment olahraga, luluh lantak akibat makin tak tahu malunya politik. terapi kejut bagi si miskin tersbeut, lantas membuat uang menjadi pikiran utamanya, chaos jalan keluarnya.
Coba kita renungkan kembali, apa yang membuat si miskin makin jauh harapan menjadi kaya. pertumbuhan ekonomi yang meninggi, namun hanya diikuti penurunan kemiskinan yang rendah. Mengapa pertumbuhan ekonomi bisa seperti itu ? Apa ada yang salah ? Bagaimana bisa sampai tak terasa manfaat besar ?
Tak perlulah kita pikirkan sekarang, biarkan itu menjadi masukan bagi ahli ekonom yang berada di Jakarta sana. Namun yang pasti, makin sulitnya mendapatkan suguhan entertainment yang menarik di tayangan televisi, terlebih olahraga yang diidam-idamkan, sepakbola namanya makin tak jelas karuan kisruhnya dan hiburan tak mendidik didalamnya.
Jika kita memasukkan ukuran hiburan sebagai salah satu aspek dalam mengukur kemiskinan, jelas menambah orang miskin di negeri ini. Aaaah, sungguh pelik negeri ini. Tak karuan ini jelas dan dengan mata telanjang dapat disaksikan, pemilihan ketua bidang olahraga tak ubahnya pemilihan anggota DPR/DPRD, kolusi, korupsi, dan nepotisme terlalu untuk dipelrihatkan secara luas. Ada apa ? Mengapa makin tak tahu malu elite di negeri ngeri ini ?
Bagi si miskin, ayo kita bersama membangun potensi diri, belajarlah hingga ke negeri china, masih bertanya tak ada biaya ? banyak agen-agen beasiswa yang menawarkan ! tak tahu cara mendapatkannya ? tak ada akses internet ? cuman satu jawabannya, mau berusaha dan ada niat baik di dalamnya, karena orang-orang seperti kita masih percaya pada satu keyakinan. Tuhan akan bersama bagi orang-orang yang mempunyai niat dan ikhtiar yang baik.!
Bagi si tak tahu malu, sudilah kiranya memberikan kesempatan untuk orang lain, rotasi dalam sebuah perusahaan adalah cara terbaik untuk meningkatkan etos kerja, makin Anda tak tahu malu, makin kami membenci Anda, makin kalian mendagangkan kepentingan diri sendiri, makin tak sedap kuburan engkau nanti. Ayo mari, ringankan pikiran, karena hiburan bukan hanya milik engkau, tapi human rights semua manusia.
Saking peliknya, mungkin kolom ini tak mampu untuk ditulisi. Jika tak diselesaikan dengan cepat, tak lama lagi kita bersama dapat merasakan atmosfer kekecewaan tertinggi, mungkin pada saat tersebut, populasi Indonesia akan berkurang drastis.