Cerita dari Si Ranu dan Si Meru bagian III

15 08 2010

6 Agustus 2010

Summit Attack (elegi sabit dan bintang terang)

Pukul 02.00

Nikmatnya sop asparagus bergantian mengisi kerongkongan kering ini, ditambah dengan secangkir teh hangat yang berputar bergantian pula. Bulan sabit itu pun seperti menyunggingkan senyumnya, dan ribuan bintan terang itu makin membuat bibir ini berucap lafaz Allah sekali lagi.

Seluruh manusia berkeyakinan kuat ini telah membuat suatu lingkaran untuk mensyukuri nikmat hingga hari ini, seraya berdoa untuk sebuah perjalanan sejati, menuju puncak suci tempat petilasan soe hok gie bersemayam.

Bismillahirrahmanirrohim
Ya Allah, Mudahkan perjalanan kam
Untuk menuju puncak MAHAMERU
Ya Allah, permudahkanlah langkah kami
Amiin

briefing singkat pun digelar, kesimpulan utama. Harus turun sebelum jam 9, dan berbicara jika ada batu yang di jatuhkan.

Manusia dari kalimati pun telah bergabung, sebelum doa bersama.

Dan kini, lampu-lampu putih itu telah bersinar dari kepala masing-masing. sambil beriringan melewati satu per satu petilasan jejak langkah manusia yang meninggal di si Meru, melewati satu per satu gundukan batu tebal yang dapat bergeser, menaiki satu langkah pasir tebal, menurun kembali satu langkah akibat licinnya sebuah jalur pendakian.

Awas- Awas itu lah yang terucap, bibir jurang blank 75 sangat dekat dengan kami, satu per satu berjalan perlahan, menyusuri turunan yang kembali di sambut oleh sebuah tanjakan yang menantang, gelap segelapnya kalah oleh terang dari sang bintang, temaram malam menuju senja saat manusia sedang tidur dengan asyiknya terkalahkan oleh ratusan manusia yang kebanyakan dari tanah air dalam merengguk kenikmatan diri di puncak dewa.

Melihat kebawah sama saja melihat lautan manusia dan pemandangan sejati . Sinar-sinar dari lampu tempel di kepala itu sudah cukup untuk menyinari malam ini, angin yang menusuk telah di tutupi dengan lapisan Jaket, gw sendiri memakai 3 jaket di dalamnya. Hingga pada akhirnya , sebuah tembok raksasa dengan kanan kiri jurang, inilah dia si Meru, sambil dia berucap “selamat datang, dan hati-hati, masih panjang perjalananmu Nak

Cemoro Tunggal

Menurut buku catatan seorang demonstran :soe hok gie, gie dan kawan-kawan dari Mapala UI pertama kali mendirikan kemah pada sebuah pohon cemara, yang tertancap dengan agung di lereng si Meru, hanya satu dan tiada teman, oleh karena itu disebut Cemoro Tunggal.

Inilah awal dari itu semua, menuju lautan pasir yang perlu di jinakkan untuk menggapai keikhlasan diri. Untuk melihat asap dari Jongkring Seloka dari dekat yang telah merenggut nyawa dari Gie dan Idhan Lubis.

Perjalanan semakin berat, backpack di punggung pun masih tampak berat, walaupun hanya membawa beberapa minuman, ponco, webbing, dan kamera. Susuri jalan kanan berarti mati, susuri jalan kiri berarti mati pula, sungguh rumit, anak muda luar biasa pun telah melesat jauh.

Lingga sedikit tergopoh-gopoh dengan sarung di mukanya, babab pun tidak menunjukkan aksi nya kemarin-kemarin, sungguh luar biasa ini si Meru, terlihat bias, si Meru hanya menyunggingkan senyumnya, dan lago-lagi sang sabit menyemangati kita, di balik bebatuan keras itu lah, mentari mulai mengalahkan malam. Pemandangan seakan-akan menjadi – jadi untuk diabadikan, terlihat dengan jelas Arjuno Welirang di sebelah kiri, hamparan awan kinton di sebelah kanan, dan si cantik Ranu Kumbolo di depan terhalang bukit Kepolo.

Nyaman, sangat nyaman, jika ini puncak mungkin akan lama saya disini, tapi tampaknya ketinggian di atas masih sangat jauh, ssangat menyiutkan hati ini. AYO semangat, itulah yang hanya terucap, dengan saling berbagi air dengan Lingga, lagi-lagi kami harus menaklukkan pasir-pasir yang sudah kusam ini.

Di bawah terlihat ratu, tujo, dan bagunung. Masih terlihat bersemangat mereka. Semoga mereka mendaki ke puncak bersama-sama.

Puncak Abadi Para Dewa (paku suci pulau jawa)

07.00

Angin makin kencang, membuat bibir ini semakin perih, gigi yang bergerutu seakan-akan bersatu dengan gemeretak batu, tak sadar, batu-batu kecil itu masuk ke dalam mulut, dan orang-orang Perancis itu telah turun kembali, sangat hebat mereka. Mereka telah menggapai puncak.

Gw sendirian, lingga, afif, dan anak muda luar biasa yang lain telah diatas, langit sudah terang, dan yang telrihat hanya bendera Semapur yang terkibar-kibar oleh angin dingin ini. langkah – langkah demi langkah terus melaju, sedikit turunan terlihat, dan pendaki sesama negeri telah turun kembali pula, 15 menit lagi kata mereka.

Ah tak apa, tak dikasih tahu, semangat ini yang hanya membantu gw sekali lagi. Melipir jurang sedikit ke kiri, tanjakan kembali menyambut, licin, dan tak kuasa dengkul ini untuk melangkahkan telapak kaki lagi, di sana Gonek telah merekam beberapa adegan menuju puncak dewa, Salat dan binong pun telah ngumpet di bebalikan bebatuan dasar bumi.

Baca Selanjutnya





Cerita dari Si Ranu dan Si Meru bagian II

14 08 2010

4 Agustus 2010

Ranu Pane

“lo udah boker pe ?” tanya tumun ke gw

“belom dah , belom mau keluar nih ! ” jawab ringkas saya

satu per satu manusia bercarier tadi menyiapkan kembali bawaanya, sambil menikmati hangatnya kopi dari warung sebelah, ada pula yang sambil mengembat gorengan dari warung depan, begitu dingin pagi itu, dan kita semua menikmatinya.

“aih , apa itu ! ” gumam bathin ini

Ranu pane, sebauh sosok anggun di pagi hari, dengan pantulan refleksi dari mentari yang sanggup meneduhkan hati ini dari keegoisan duniawi.

“ah , ambil kamera, perlu di capture ini ” ucap gw

sambil melangkahkan kaki dalam dinginnya pagi, sambil menenteng sebuah kamera , saya berjalan menuju ke depan wc, niatan awal untuk membuang hajat, tetapi entah kenapa tidak bisa dikeluarkan, dengan sebatang rokok yang menyala, dengan asap kecilnya yang bergabung dengan kabut di desa itu.

“ckrek” bunyi kamera, indah tanpa catat. Refleksi bersih dari sebuah pemandangan yang anggun, dan memesona. Di balik rumah bapak Tumari, sudah banyak manusia yang mengantri untuk mengambil makanan, tentunya sebelum berangkat kita memerlukan makan terlebih dahulu. Rokok di tangan pun semakin mengigit jari, dibuangnya lalu melangkah kembali menuju rumah Bapak Tumari. “nice capture”

Akhirnya, kumandang lafaz tak berhenti berucap, manusia dari Jakarta ini melingkar untuk bersama-sama bertasbih meminta petunjuk Sang Maha Agung, meminta sedikit restu untuk sebuah keberhasilan perjalanan. Lafaz amin yang tak berhenti berucap, membuat getar bathin di dada, sambil terdengar suara itu, si Ranu dan si Meru pun berujar “mari sini sayangku“.

Tas berat itu sudah di punggung, lalu satu per satu mengabadikan diri di depan balai, di balai tersebut ada catatan sebuah peringatan. Sebuah catatan kematian yang terjadi di si Meru. si Meru pun berucap “Jika kalian menghargai aku, akupun akan menghargai kalian

Start Trek

Ini bukan judul Film, ini hanyalah gambaran awal dari sebuah proses panjang bernama “pendakian“. Satu per satu berpamitan kepada penduduk desa, untuk menuju si Ranu -sebuah danau eksotik di ketinggian 2600 mdpl- . Lagu dari Dewa 19 – Mahameru pun terucap di kerongkongan, hingga akhirnya hanya terucap di bathin, sebuah perjalanan yang sangat berat, dengan beberapa tanah yang sudah di beton, sangat panjang ternyata.

“jo, ini berhenti pertama” ucap gw, dari 15 menit awal pendakian

berat, sangat berat, punggung ini terasa berat , nafas pun menjadi tersengal. keelokan si Meru pun masih jauh untuk dapat di lihat.

“kalem aja, udah buru” ucap tujo.

Lagi – lagi istirahat, lagi – lagi nafas tersengal . Dedaunan yang masih hijau, ranting-ranting yang menyerupai terowongan, dan jurang dalam itu lah teman selama perjalanan. Jika hati menyiut, maka jalan pulang adalah pilihan utama, tapi sungguh terlalu semangat ini jika hancur begitu saja.

Langkah demi langkah di ayunkan, meskipun berat di punggung ini makin terasa, kabut tebal pun menghampiri, pohon cantik edelweiss pun telah terlihat dengan mata telanjang, jarak satu dan lain masih didapat.

“ah itu pos” ucap gw, entah itu pos apa, yang jelas di depannya Edelweis terhampar indah.

Perut berbunyi tanda lapar pun sudah berbunyi, tapi entah sampai kapan si Ranu itu menyemburkan sinarnya, hari telah menuju senja, sang kabut pun makin tebal dari detik ke detik, langkah kaki ini pun makin bersemangat untuk melanjutkan langkahnya.

Baca Selanjutnya





Cerita dari Si Ranu dan Si Meru bagian I

13 08 2010

Konon pada dahulu kala, dewa – dewa dari India kebingungan melihat pulau jawa yang terombang-ambing dalam lautan samudera, mulai dari situ, para dewa pun bersepakat untuk memaku jawa. Paku itu adalah Si Meru .

April 2010

Sekumpulan anak-anak di pojokan pertokoan di daerah Pamulang sedang berdiskusi dengan sangat asyiknya, ada yang hanya sedang mengepulkan asap dari batang rokoknya, ada pula yang hanya mengutak atik keypad hanphonenya. Cerita terorisme masih kental sekali pada waktu itu, ya sebab daerah ini pernah terjadi penembakan terhadap tokok teroris. (katanya sih begitu). Tetapi, rata-rata dari mereka masih sibuk mengobrolkan cerita tentang skripsi mereka masing-masing.

2 buah aqua gelas dateng , dibarengi oleh kedatangan 2 buah plastik isi Indocafe Coffemix. Makin panjang rupanya malam ini, mereka masih ngalur-ngidul untuk sebuah perjalanan mereka. Dan di bulan ini masih tak tertuntaskan niat mereka .

April – Mei – Juni terlalu cepat untuk dilalui dalam kesendirian di kota masing-masing, bocah-bocah tonkrongan pojok pertokoan di Pamulang itu pun masih terbersit dalam satu niatan tulus untuk bersama-sama. Ada yang mencoba untuk menyelesaikan tugas akhirnya, dan banyak pula untuk meraih angka index prestasi, dan masih ada pula yang berusaha untuk lulus dari ujian maut bernama UAN. Cerita-cerita di balik indahnya si Ranu dan si Meru dalam blog-blog makin membuncah di setiap kolom-kolom diskusi jejaring maya.

Juli 2010

Lagu dair Queen – Don’t Stop me Now tak berhenti-henti di putar dalam playlist winamp, tak lupa diikutsertakan lagu persembahan baladewa untuk Si Meru, terlalu senang mungkin si Meru dan Si Ranu, dinyanyikan oleh banyak manusia.  tapi tak apalah, paku dari dewa itu pun masih berdiri tegar disana, melihat anak-anak manusia yang punya nyali untuk menyentuhnya.

Tiap pagi, lagu ini tak berhenti untuk di dengarkan, terus meraung-raung dalam hangatnya pagi, dinginnya malam sebuah kota, Purwokerto. Kota indah sejuta pesona, yang sebentar lagi akan kalah oleh gegap gempita cerita dari si Ranu, dan si Meru. 2 buah tempat sepi yang dapat menghalahkan sombong dan angkuhnya seseorang, tempat mengikhlaskan diri ini untuk berpadu dengan alam, menghargai betapa sucinya sebuah perjuangan.

Agustus 2010

1 Agustus

“besok gw berangkat pagi jo, kalo ada check list alat yang lom ada, kabarin gw secepetnya” kata gw di ym itu

“oke” cepat bales tujo

“ga, kopi lo nih abisin, keburu adem bego, kaleng gw dimana” kata gw di kontrakan pada waktu itu

“itu gw taro di deket meja, laper dah, ntar sekalian gw bawa daypack gw ke kosan lo” balas lingga

“yudah berangkat dah ” tegas gw

Kosan itu tiba-tiba mendadak kotor, penuh dengan barang-barang yang tidak familiar untuk sebagian orang, mungkin akan bertanya-tanya, untuk apa semua itu.

2 Agustus 2010

Kereta Logawa mengantarkan kami ke Surabaya, banyak jajanan pasar didalamnya, ada bantal air, lempeng gapit, pecel, sampe gudeg, 1 manusia tambun dan 1 manusia jangkung tiba – tiba tergopoh untuk menaiki kereta ini, mereka baru saja tiba, karena kereta ini baru saja sampe kota mereka. Babab dan Petra namanya. Segala kesiapan fisik terlihat dari mukanya, dan nyali ini pun makin tertumpuk untuk menggapai cerita si Ranu dan si Meru.

Berbarengan, sekelompok manusia Pamulang makin mengejar-ngejar kereta kami, dari sana mereka berangkat , Stasiun Pasar Senen. Kelompok inilah yang akan membuat senyuman si Meru dan si Ranu makin menjadi-jadi, dan si Meru pun berbicara dengan lembut “hayo kemari, taklukkan kami

3 Agustus 2010

“bang, soto 1 udah plus nasi kan, berapa bang ? ” babab bertanya kepada tukan soto

“5.000 saja dek” jawab tukang soto

hidangan panas pun tersaji di depan mata, dengan asap panasnya yang lembut, sambil meniup-niup kecil kami pun memakannya, sembari menegok ke langit, melihat indahnya si Meru, ah tak terlihat. Tak lama, gerombolan manusia ber tas besar datang. mereka sangat bau asap rel, bau kemenangan atas 18 jam duduk manis di kelas ekonomi sebuah kereta api.

Hanya ada tawa, tawa, dan tawa, dan si Ranu dan si Meru pun tersipu-sipu oleh keceriaan kami, sambil  mengutarakan “cepat datang, maka kami akan menyambut kalian dengan suguhan terindah dari mata telanjang“.
Baca Selanjutnya





Cerpen : Aku, Kita , dan Mereka

30 07 2010

all be love 3 kata untuk persahabatan !
Entah mengapa 4 tahun di kota ini begitu cepat, entah mengapa saat aku menginjakkan kaki di tanah ini begitu nyamannya , sayangku ! banyak jalan yang telah kita lewati, entah itu sebuah pedestrian, sebuah ringroad di selatan gerilya, atau sebuah liukan jalan-jalan bumbu khas pedesaan, semua itu kita udah lalui kita bersama, sayang ! saat bumbu masakan dapur telah tersaji di meja, aku, dia dan mereka sama-sama duduk bersila untuk menambatkan perut yang lapar. mari sini sayangku, aku akan cerita tentang kisah-kisah yang telah kita lalui bersama. Kisah kita, aku dan mereka. Dibawah dentuman sang malam, kita bersama-sama mengelilingi mata api yang berkobar-kobar, kita satukan angan dan cita-cita dalam segumpal genggaman, dan kita fokuskan arah batin kita untuk bersama-sama dalam setiap relung waktu yang ada. Ingatkah kamu dahlu, wahai manisku ? saat mereka terjatuh dalam seoonggok kemiskinan percaya diri, saat mereka dihantui oleh rasa bersalah atas segala syukur nikmat yang ada. ingatkah itu kau sayangku ? masih ingatkah itu sayangku, saat aku , kamu, dan mereka duduk satu diatas ranjang kusam milik pak Shaleh, orang yang mengajarkan kita tentang arti sebuah manusia. di situlah kita mengemban amanah berat sebagai manusia untuk dapat menghargai manusia lainnya yang notabene sama seperti kita, atas dasar kesialan lah merka lahir di bumi ini. Pernahkah kau tahu pula, ketika itu sawah yang sudah mulai menguning kita satukan dalam sebuah imaji cinta. disitulah aku merindukan kamu , wahai manisku ! pernahkah kau ingat pula, saat itu hujan yang tersu dengan derasnya, diikuti oleh berbagai penyakit yang menghampiri, mereka dengan setia menemanimu di selangsang dipan kusam. masih banyak cerita tentang mereka sayangku. merekalah yang membuat kita kuat, mereka pulalah yang membuat aku berani mengutarakan ini kepadamu , kekasihku ! oh iya, aku ingat sesuatu, saat kita dengan manis meratapi indahnya tenggelam fajar di pangandaran, bukankah itu masih dekat dengan kota kita sayangku ! mereka menemani kita dalam tawa, canda, dan guyonan. Mereka akan ada di hatiku selamanya, khusus buat kamu , aku ceritakan ini kembali untuk mengingat masa-masa indah kita dahulu, masa-masa indah saat aku, kita, dan mereka. sebuah tali utuh kekeluargaan dalam imaji ku saat ini.





Cerpen : Dag Dig Dug (Jantung Rasanya Copot)

18 07 2010

prolog romantisme,,
ah apa itu !!
lagu dair bang Tony Q Rastafara mengalir deras di telinga ku, tetapi hanya sebentar saja, karena hanya dalam bayang bayang mimpi semata.
mmmh,,
ya mimpi itu emang ga bisa dilupakan, kenangan sekitar 10 tahun lamanya itu ,, masih saja mengganggu kegelisahan alam sadar ku…
Bencana, musibah, dan hal-hal yang mengganggu psikologi kita hingga saat ini masih berfungsi untuk mengganggu gerak-gerik kita, termasuk percintaan keapda orang lain. Lamunan akan perjalanan sebuah kasih sayang dalam harapan, itulah yang terjadi pada diri saya, kurang lebih 10 tahun lamanya, hingga saya memberanikan diri, mengulas segalanya disini..
Kenangan itu seakan menjadi karat ketika semua terjadi pada semseter pertama saya berkuliah jauh di tanah jawa.. dan rasanya akan menjadi karat untuk selama-lamanya, penampilan dan sosoknya tetap menghantui tidur malam. dan memang ternyata tidak menjadi karat, karena karat itu sudah dibersihkan oleh sejenis baahan kimia dari sebuah perenungan, cerita itu kembali hadir kini, dalam sebuah cerita untuk masa depan. She’s Come Back everybody. dia membangkitkan semangat ku, seperti kata seorang kawan, “lo tuh cinta mati sama dia tau” …
lah tak tahu lah apa yg harus diperbat, semua dokumentasi catatan kini telah hilang, yang ada hanyalah sebuah proses masa depan yang perlu dijalani dan diyakini, jikalau memang jodoh, mau pergi kemana, pun akan bertemu, jika kita berusaha dengan sekuat tenaga, pasti cinta itu akan tumbuh kembali..dan jantung ini pun akan semakin terpompa untuk menjalani kehidupannya, dan akan terpacu sangat keras, ketika parasnya timbul dalam bola mata sang pria. sebuah lelaki yang tak berdaya dalam keberadaan waktu dan ruang.
kehadirannya di sebuah pemandangan jalan, kehadirannya dalam sebuah tembok tembok usang tak bertuan, dan kehadirannya dalam setiap kebohongan yang diperbuat, serta kehadirannya yang menjadi gangguan saat mata memejam, ahhhh,, ingin rasanya menjauhkan, ingin rasanya untuk melupakan, tetapi dag dig dug ini semakin kencang, apa artinya semua ini ??
Sang fajar pun, telah menampilkan pesonanya, hari pun telah beranti, dan senyawa nafasnya masih terdengar dalam setiap dug dug jantung sang pria…

Sebuah cerpen dari Aditya Dwi Prasetyo
Jikalau ingin mengcopy-paste, dipersilahkan, tetapi komentar dahulu diutamakan. Terimakasih