6 Agustus 2010
Summit Attack (elegi sabit dan bintang terang)
Pukul 02.00
Nikmatnya sop asparagus bergantian mengisi kerongkongan kering ini, ditambah dengan secangkir teh hangat yang berputar bergantian pula. Bulan sabit itu pun seperti menyunggingkan senyumnya, dan ribuan bintan terang itu makin membuat bibir ini berucap lafaz Allah sekali lagi.
Seluruh manusia berkeyakinan kuat ini telah membuat suatu lingkaran untuk mensyukuri nikmat hingga hari ini, seraya berdoa untuk sebuah perjalanan sejati, menuju puncak suci tempat petilasan soe hok gie bersemayam.
Bismillahirrahmanirrohim
Ya Allah, Mudahkan perjalanan kam
Untuk menuju puncak MAHAMERU
Ya Allah, permudahkanlah langkah kami
Amiin
briefing singkat pun digelar, kesimpulan utama. Harus turun sebelum jam 9, dan berbicara jika ada batu yang di jatuhkan.
Manusia dari kalimati pun telah bergabung, sebelum doa bersama.
Dan kini, lampu-lampu putih itu telah bersinar dari kepala masing-masing. sambil beriringan melewati satu per satu petilasan jejak langkah manusia yang meninggal di si Meru, melewati satu per satu gundukan batu tebal yang dapat bergeser, menaiki satu langkah pasir tebal, menurun kembali satu langkah akibat licinnya sebuah jalur pendakian.
Awas- Awas itu lah yang terucap, bibir jurang blank 75 sangat dekat dengan kami, satu per satu berjalan perlahan, menyusuri turunan yang kembali di sambut oleh sebuah tanjakan yang menantang, gelap segelapnya kalah oleh terang dari sang bintang, temaram malam menuju senja saat manusia sedang tidur dengan asyiknya terkalahkan oleh ratusan manusia yang kebanyakan dari tanah air dalam merengguk kenikmatan diri di puncak dewa.
Melihat kebawah sama saja melihat lautan manusia dan pemandangan sejati . Sinar-sinar dari lampu tempel di kepala itu sudah cukup untuk menyinari malam ini, angin yang menusuk telah di tutupi dengan lapisan Jaket, gw sendiri memakai 3 jaket di dalamnya. Hingga pada akhirnya , sebuah tembok raksasa dengan kanan kiri jurang, inilah dia si Meru, sambil dia berucap “selamat datang, dan hati-hati, masih panjang perjalananmu Nak“
Cemoro Tunggal
Menurut buku catatan seorang demonstran :soe hok gie, gie dan kawan-kawan dari Mapala UI pertama kali mendirikan kemah pada sebuah pohon cemara, yang tertancap dengan agung di lereng si Meru, hanya satu dan tiada teman, oleh karena itu disebut Cemoro Tunggal.
Inilah awal dari itu semua, menuju lautan pasir yang perlu di jinakkan untuk menggapai keikhlasan diri. Untuk melihat asap dari Jongkring Seloka dari dekat yang telah merenggut nyawa dari Gie dan Idhan Lubis.
Perjalanan semakin berat, backpack di punggung pun masih tampak berat, walaupun hanya membawa beberapa minuman, ponco, webbing, dan kamera. Susuri jalan kanan berarti mati, susuri jalan kiri berarti mati pula, sungguh rumit, anak muda luar biasa pun telah melesat jauh.
Lingga sedikit tergopoh-gopoh dengan sarung di mukanya, babab pun tidak menunjukkan aksi nya kemarin-kemarin, sungguh luar biasa ini si Meru, terlihat bias, si Meru hanya menyunggingkan senyumnya, dan lago-lagi sang sabit menyemangati kita, di balik bebatuan keras itu lah, mentari mulai mengalahkan malam. Pemandangan seakan-akan menjadi – jadi untuk diabadikan, terlihat dengan jelas Arjuno Welirang di sebelah kiri, hamparan awan kinton di sebelah kanan, dan si cantik Ranu Kumbolo di depan terhalang bukit Kepolo.
Nyaman, sangat nyaman, jika ini puncak mungkin akan lama saya disini, tapi tampaknya ketinggian di atas masih sangat jauh, ssangat menyiutkan hati ini. AYO semangat, itulah yang hanya terucap, dengan saling berbagi air dengan Lingga, lagi-lagi kami harus menaklukkan pasir-pasir yang sudah kusam ini.
Di bawah terlihat ratu, tujo, dan bagunung. Masih terlihat bersemangat mereka. Semoga mereka mendaki ke puncak bersama-sama.
Puncak Abadi Para Dewa (paku suci pulau jawa)
07.00
Angin makin kencang, membuat bibir ini semakin perih, gigi yang bergerutu seakan-akan bersatu dengan gemeretak batu, tak sadar, batu-batu kecil itu masuk ke dalam mulut, dan orang-orang Perancis itu telah turun kembali, sangat hebat mereka. Mereka telah menggapai puncak.
Gw sendirian, lingga, afif, dan anak muda luar biasa yang lain telah diatas, langit sudah terang, dan yang telrihat hanya bendera Semapur yang terkibar-kibar oleh angin dingin ini. langkah – langkah demi langkah terus melaju, sedikit turunan terlihat, dan pendaki sesama negeri telah turun kembali pula, 15 menit lagi kata mereka.
Ah tak apa, tak dikasih tahu, semangat ini yang hanya membantu gw sekali lagi. Melipir jurang sedikit ke kiri, tanjakan kembali menyambut, licin, dan tak kuasa dengkul ini untuk melangkahkan telapak kaki lagi, di sana Gonek telah merekam beberapa adegan menuju puncak dewa, Salat dan binong pun telah ngumpet di bebalikan bebatuan dasar bumi.